BeritaKetenagakerjaan

Fenomena Sisnaker dan Kesiapan Penyelenggara PBK

Fenomena Sisnaker dan Kesiapan Penyelenggara PBK. Dinperinaker. Menarik untuk dicerna secara lebih mendalam, betapa teknologi informasi dan komunikasi sudah demikian derasnya menancapkan kukunya di segala lini kehidupan. Jika dulu istilah “data” hanya milik orang statistik, atau orang fakultas matematika ipa, kini orang biasa dengan profesi paling sederhana pun sudah akrab dengan “data”. Minimal saat berkunjung ke counter HP akan bilang “Mas, tolong hp saya diisikan paket data”. Jalur komputasi dan komunikasi nirkabel telah berkonvergen menjadi satu platform yang  sangat akrab dan mudah digunakan oleh balita sekalipun.

Pun terjadi hal yang demikian di dunia persilatan bernama PBK atau Pelatihan Berbasis Kompetensi. Di medio tahun 2010 hingga 2018, proses pengelolaan data para peserta pelatihan difasilitasi secara hybrid, atau secara berdampingan dan paralel, sistem komputerisasi dan sistem manual (tulis tangan). Sistem ini kala itu diberi judul “Kios 3in 1”. Artinya tiga layanan menjadi satu, yakni pelatihan, sertifikasi dan penempatan. Namun pada prakteknya, sistem ini hanya efektif di proses pendaftaran saja, membantu mendigitalkan data pendaftar dan peserta pelatihan. Ujung – ujungnya? Ya file Excell juga. Export data ini sudah cukup membantu mendokumentasikan data peserta menjadi lebih tertib, lebih mudah diolah, dan dapat dilacak history dan progresnya.

Kemudian muncul-lah sisnaker. Diluncurkan pada tanggal 27 September 2019, Aplikasi ini adalah produk sekelas Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Lewat aplikasi ini pula, gambar besar yang tersirat adalah terintegrasinya seluruh layanan Kemnaker RI dalam satu platform dan dalam satu antar muka website, yaitu www.kemnaker,go.id . “Sisnaker ini penting sebagai salah satu bentuk pelayanan Kemenaker dalam memberikan single service. Ini lantaran core bisnis Kemnaker adalah pelayanan dan perlindungan tenaga kerja dan stakeholder terkait., ” Demikian penuturan Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri dalam sambutan peluncuran Sisnaker di Jakarta. (bisnis.com – 2019)

Jika dahulu masing masing direktorat atau subdirektorat dan sekretariat jenderal masih mengembangkan aplikasi sendiri –  sendiri serta berbumbu proyek pengembangan sistem, kini semua diambil alih dan menjadi satu pintu di sisnaker.  Sebuah platform mercusuar yang cukup gigantik. Namun, kita akan lihat dari sisi layanan pelatihan saja. Ya, karena penulis adalah seorang instruktur di sebuah lembaga pelatihan kerja pemerintah (Balai Latihan Kerja).

Tujuan sisnaker yang mulia ini masih terus diperjuangkan dengan selalu dilakukannya pengembangan dan perbaikan sistem informasi. Dikarenakan pada tahap pengembangan awal belum ditemui permasalahan yang pelik dan unik jika sudah bersentuhan dengan berbagai jenis masyarakat, serta wilayah Republik Indonesia yang sangat bervariasi tingkat “melek IT” nya.

Genderang aksi sisnaker ditabuh tak lama berselang dengan peluncuran program kartu pra-kerja. Dinas ketenagakerjaan di daerah kelabakan karena hanya mampu memfasilitasi perangkat dan pendamping pendaftaran prakerja yang juga melakukan improvisasi agar masyarakat dapat terlayani. Semisal “posko prakerja kabupaten purworejo” yang menyediakan komputer, akses internet dan petugas yang “membantu” warga yang hendak mendaftar dan memanfaatkan program kartu prakerja. Balai Latihan Kerja pun terkena imbas juga, di awal masa pandemi 2020, tetap harus memberikan layanan posko prakerja. Sekali lagi, personil di daerah tidak dapat mengakses atau mengolah statistik data para pendaftar dan penerima manfaat program kartu prakerja. Dikarenakan sistem langsung mem-bypass birokrasi antara pendaftar dengan kemnaker, tanpa memberi tembusan apapun kepada daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten / Kota. Jadi jika Sekretaris Daerah bertanya kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja “Berapa warga kita yang ikut Prakerja?” maka jawabannya adalah “Kami tidak memiliki akses ke data tersebut”.

Jalan terus, tidak jadi soal. Semua tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya layanan ketenagakerjaan.  Pelatihan yang mengalami penundaan atau skors di masa awal pandemi, memberi waktu kepada kami para instruktur untuk mempelajari sisnaker dan saat itu khususnya prakerja. Saat kegiatan pelatihan mulai berjalan kembali di pertengahan tahun 2020, muncul masalah baru. “Semua siswa harus terdaftar di aplikasi sisnaker”. Hal ini menyulitkan BLK di daerah untuk memenuhi, dikarenakan sistem aplikasi online sisnaker tersentral di Jakarta, sedangkan untuk “menyusulkan” data siswa yang belum ter-rekam di sisnaker sudah terlambat. Secara alur, siswa yang mengikuti pelatihan  harus mendaftarkan dirinya di aplikasi sisnaker SEBELUM dilaksanakan seleksi dan rekrutmen. Dikarenakan sisnaker masih relatif seumur jagung, akhirnya muncul “permakluman” secara nasional dan membolehkan data peserta pelatihan disusulkan setelah kegiatan pelatihan berjalan.

Di tahun 2021, sisnaker semakin ketat dan memberlakukan peluncuran sertifikat pelatihan berbasis kompetensi secara nasional, terpusat di kemnaker. Setelah terdaftar di sisnaker, siswa akan mengikuti seleksi dan rekrutmen, diterima, mengikuti pelatihan, dan lulus, seluruh tahapan ini akan ter-rekam di sisnaker, dengan bantuan seorang administrator BLK tentunya.

Menurut pengalaman penulis yang pernah mengikuti bimbingan teknis aplikasi sisnaker di Denpasar Bali, di daerah, terdapat tiga macam akun, yaitu akun pengelola lembaga pelatihan, akun instruktur pelatihan, dan akun peserta pelatihan (dengan berbagai versi tergantung posisi nya di pelatihan).  Akun peserta diawali dengan mendaftar pada salah satu program pelatihan (Pendaftar Pelatihan), dilanjutkan dengan seleksi penerimaan. Setelah diterima, akun akan berubah menjadi “Peserta Pelatihan”. Pada saat pelatihan selesai, akun akan berubah menjadi “Alumni Pelatihan”.

Akun pengelola lembaga pelatihan akan mengolah data program pelatihan sesuai DIPA yang diterima, dan juga mengelola data peserta pelatihan mulai dari “Pendaftar Pelatihan” hingga “Alumni Pelatihan”.  Interaksi yang terjadi di antara akun peserta dan instruktur terjadi pada saat peserta menyelesaikan pelatihan, Instruktur akan menilai siswa melalui aplikasi sisnaker, sementara siswa akan memberikan review dan rating atas layanan pelatihan yang diterima.

Di tahun 2021 ini pula, sisnaker dengan segala kekurangan dan bug nya, masih menjadi urat nadi pengadministrasian proses pelatihan, menjadi portal utama untuk masuk dan keluar nya seseorang di dunia pelatihan kerja. Lembaga pelatihan yang dikelola penyelenggara pelatihan, menghadapi tantangan yang tidak enteng. Di satu sisi penyelenggara harus menyelesaikan kewajiban administrasi penyelenggaraan terkait pertanggungjawaban, namun di dalamnya terdapat problema lain yaitu “mengelola data peserta pelatihan di aplikasi sisnaker”.  Sisnaker sudah menjadi syarat mutlak pengadministrasian pelatihan. Jika dahulu peserta pelatihan yang kurang bisa “menyusul”, hal ini tidak berlaku di sisnaker. Selain itu tahapan pelatihan dan status siswa harus selalu dimonitor dan diupdate, dikarenakan beberapa program pelatihan yang dibuka secara bersama sama, memiliki durasi yang berbeda – beda. Hal ini mengakibatkan penutupan pelatihan dan munculnya alumni pelatihan akan sangat bervariasi waktunya.

Proses “lanjutan” yang harus dilalui sebelum penyelenggara dapat menerbitkan sertifikat pelatihan, semakin kompleks dan membutuhkan kerja sama antara penyelenggara dan para siswa.  Setelah dinilai oleh instruktur terkait kompetensi masing  – masing siswa, penyelenggara harus menggerakkan siswa untuk memberikan rating dan review atas program pelatihan yang sudah diikutinya. Selesai? Belum. Siswa baru akan mendapatkan sertifikat setelah mengisi survey kesiapan bekerja.  Hal ini cukup menyulitkan, jika pelatihan akan segera ditutup namun survey belum dilakukan oleh para siswa. Penyelenggara pelatihan belum dapat menerbitkan sertifikat, dikarenakan nomor sertifikat belum akan muncul. Tentunya ini berlaku untuk SEMUA peserta pelatihan di SEMUA program pelatihan.

Di akhir 2020, sisnaker  memberikan iming – iming berupa insentif sebesar Rp600.000,- sebagai perangsang kepada para alumni untuk mau mengisi survey kebekerjaan atau di tahap di mana alumni pelatihan diasumsikan sudah bekerja.  Jika tidak mengisi survei ini pasca pelatihan, maka jangan harap ada transfer dana ratusan ribu ke rekening BRI milik alumni.

Kembali ke penyelenggara pelatihan. Betapa berat beban pekerjaan yang harus dipikul oleh para penyelenggara pelatihan. Mulai dari pimpinan, tata usaha, rumah tangga, keuangan dan semua penjaga malam. Dengan sisnaker yang murni IT, siapkah penyelenggara menghadapi? Kini, seperti di awal tulisan ini telah disampaikan, IT sudah bukan monopoli orang komputer lagi. IT sudah merambah semua, maka semua harus bisa IT. IT yang dimaksud bukan sekedar menyaksikan video di layanan www.youtube.com saja, atau berbalas chat di Whatsapp saja. Penyelenggara harus melek sisnaker. Mulai dari platform pendaftaran, pengelolaan data siswa, hingga klimaksnya di versi saat ini, siswa / alumni menerima insentif dari kementerian tenaga kerja RI melalui sisnaker. Dilanjutkan dengan pengolahan data pelatihan dan data siswa untuk kepentingan pelaporan dan pertanggung jawaban. Ini semua harus dikuasai oleh penyelenggara pelatihan, hingga level data terkecil.

Dalam suatu organisasi lembaga pelatihan kerja, seorang pimpinan atau pejabat “meminjam” sumber  daya manusia instruktur untuk mendukung penyelenggara, adalah hal yang cukup bisa diterima. Dengan beberapa catatan, bahwa instruktur merupakan jabatan fungsional yang independen dan memprioritaskan idealisme, keahlian dan keterampilan dalam bidang ilmu nya, untuk ditransfer secara cerdas dan elegan kepada para peserta pelatihan.  Harus ada batas yang jelas antara penyelenggara dan instruktur. Ada pembagian peran yang tegas dan sesuai tugas fungsi nya, agar tidak kebablasan menjadi disposisi yang salah namun menjadi kaprah.

Jika instruktur mendapatkan peran ganda di luar tugas fungsinya, maka akan ada yang dikorbankan. Siswa misalnya. Di saat instruktur sedang melaksanakan proses pembelajaran bersama siswa dengan begitu intim nya, sebuah panggilan untuk menyelesaikan suatu disposisi perintah dari penyelenggara, harus memutus ke”intim”an ini dan meninggalkan para siswa dalam kebingungannya.

Sebagai seorang pegawai yang patuh pada Panca Prasetya Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia, maka seorang instruktur juga harus siap jika menerima tugas lain yang diberikan oleh atasan. Jika instruktur yang “potensial” dan melek IT diminta kerja sama nya  dalam menangani sisnaker, maka peran utama harus tetap di penyelenggara. Instruktur hanya mendukung bilamana dibutuhkan solusi dan pendapat ahli yang terkait pengelolaan data pelatihan dan data siswa di aplikasi sisnaker. Mendukung bukan berarti mengerjakan ya? Jangan salah kaprah lagi.

Bersambung…

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button